Rabu, 10 Oktober 2012

Cerpen


Kau dan kecewaku

Sayang? Salahku apa? Semakin hari kau semakin menjauh. Bicarakan apa yang saat ini kau rasakan? Adakah aku membuat sesak didadamu? Adakah aku mengecewakanmu? Adakah aku menyakiti hatimu? Semakin kau diam seperti ini semakin aku tak tentu arah.
Sayang? Bicaralah.. sepatah kata saja..aku rindu. Rindu senyummu, ketawamu, ejekanmu, aku rindu pelukanmu. Sayang.. tegakah kau tinggalkan aku setelah kecupanmu yang pertama ini. Kau buatku melayang tinggi, sekarang kau campakkan aku.. aku tak terima ini.. sayang, tolong jangan katakan ini sebagai kecupan pertama dan terakhirmu. 

***

Menunggumu walaupun menjemukan adalah hal yang paling kucintai. Di pohon tua yang rindang ini, kita berjanji untuk memadu rasa. Sudah sekian lama kita tidak berjumpa, setelah kau putuskan untuk mengadu nasib ‘sementara’ dikota besar itu. Tak terbayangkan rasanya waktu itu ketika pertama kali kau putuskan untuk meninggalkanku, sungguh seperti duniaku hampir roboh. “aku akan selalu mencintaimu dan setelah aku pulang kita akan menikah” itu katamu. Itulah obat yang aku gunakan ketika aku sakit. Itu juga obat yang aku konsumsi ketika aku sudah mulai menyerah menjalani kehidupan tanpa mu. Aku percaya kamu.

Mobil merah tua mulai menikung menuju ke arahku, aku bisa melihatnya diatas perbukitan ini siapapun yang datang menuju kearahku. Tanpa kusadari darah ku berdesir kencang, tersungkur aku diatas kursi kenangan dibawah pohon ini. “kau datang juga”, lirihku. Aku tak bisa bangkit, kau begitu mempesona begitu berjalan kearahku, tersenyum, dan langsung meraih tanganku tanpa sepatah katapun. “aku rindu”, bisikmu. “aku juga sayang, sangat..sangat..” dan kita tersenyum.

Dua tahun berpisah, dan ini lah rasanya ketika bertemu kembali, jiwa ini benar-benar terasa penuh oleh kamu. Wajahmu tanpak memerah bahagia, senyummu mengembang, tapi itu terlihat bukan seperti senyummu dahulu. Tanganmu dingin dan kau memang semakin putih. Ahh..mungkin karena terlalu lama dimobil yang ber-AC dan karena tinggal dikota jadi kau bisa mengurus diri lebih intens lagi. Kau terlihat keren dengan kemeja yang kau biarkan terbuka dan memperlihatkan kaos hitam didalamnya, aku pangling dan tak sempat berfikir bahwa itu bukan kau yang dulu. Teralu bahagiakah ini? Hingga aku lupa mencatat hal-hal sepele yang sedikit berubah darimu.

Kita memancing bersama lagi. Kau sungguh-sungguh jahil. Masih tega meninggalkan aku sendiri dan sengaja membiarkan aku mencarimu berkeliling-keliling. Dan ternyata kau hanya bersembunyi  di mobil sambil melihat aku yang kebingungan dan hampir menangis. Setelah aku diam, kau mengejutkanku dengan menyuruh seorang anak kecil menutup mataku dari belakang. Bahagianya, aku mengira itu kamu.  Tak tega melihatku jengkel barulah kau tertawa dan menyerahkan setangkai mawar merah. Entah dari mana kau dapatkan itu. Kau memelukku. Aku terkejut, tidak biasanya kau seperti ini begitu gampangnya memelukku. ” Ahh..mungkin karena terlalu bersemangat”, pikirku.

“sayang.. apakah kau masih mencintaiku?” tiba-tiba kau bertanya lirih setelah puas mengerjaiku. “aku rasa kau tak perlu bertanya lagi, kau sudah tau kan apa jawabanku. Aku sangat, sangat mencintaimu, aku tak bisa hidup tanpamu, aku juga tidak mau hidup sendiri tanpamu”. Mendengarku berucap kau mendekapku erat sekali, tidak pernah aku merasa dekapan yang begini. Bibir kita menyatu, dan kau.. menangis. Sontak aku terkejut, ini pertama kali nya kau peluk dan kau cium aku, tapi kenapa kau menangis? Apakah kau terlalu bahagia? Apakah kau malah menyesal menciumku? Apakah ini ciuman pertama dan terakhirmu? Kau mau kemana? Tapi pertanyaan itu melayang begitu saja, aku tak sanggup bertanya karena terlalu terhanyut oleh rasa bahagia yang begitu berlebihan.

Rasa bahagia karena kau ada disampingku lagi tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Rasanya ada satu ruang kosong dalam diriku telah terisi. Sebulan, dua bualan, tiga bulan, dan sekarang sudah lima bulan kau disini. Tapi sepertinya tak kunjung kudengar kau berkata aku ingin melamarmu seperti janjimu sebelum kau pergi. Apakah aku harus bertanya? Ya aku harus bertanya. Setiap kita bertemu aku terus berharap kau berkata akan melamarku. Aku sudah tidak tahan lagi menunggu, aku tidak mau kehilangan kesempatan.

Tapi,,
#
“Randa sayang, ayo ketempat tante ku, aku mau mengenalkan kamu ke tante. Kamu mau kan?”
“maaf sayang, aku lagi sibuk, bisa kah lain kali saja kita kesana?”
“baiklah”

“sayang, aku lapar”
“makanlah sayang”
“tapi aku mau makan kalau ditemani kamu”
“aku tidak bisa sayang, ada sesuatu yang harus aku lakukan”

“Sayang, aku pengen ketemu”
“sabar ya sayang, aku juga ingin ketemu kamu”
“tapi kenapa akhir-akhir ini kamu sering menolak ketika ajau ajak kemana-mana?”
“aku sudah bilang, kalau aku sibuk sayang, ada hal lebih penting yang harus aku lakukan, aku tidak bisa terus-terusan bersama kamu”
“sampai kapan?”
“sampai tiba waktunya”

“sayang aku kangen”
“aku lagi sibuk”
“apa? Sedikitpun tak ada waktu untukku lagi?”
Tuuuuuutt...tuuuuut.. (telfon kau putuskan)
#

Perlakuanmu sekarang berubah, kau enggan balas sms ku, kau seperti tidak ingin berbicara padaku. Kebahagiaan ini begitu cepat pudar. Ada apa? Apa salahku? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi? Kalaupun kau muak atau benci padaku, kenapa baru sekarang seperti ini? Kenapa tidak dari dulu saja sewaktu kau jauh dariku? Bicaralah sayang. Mana janjimu dulu yang ingin melamarku? Mana janjimu dulu yang ingin hidup bersamaku? Kau jahat Randa, kejam.

Bicaralah padaku, temui aku.
Aku sudah tidak tahan lagi, kau selalu memberi alasan. Semakin hari kau semakin menjauh. Kau malah pindah dari rumah, tanpa kabar ke siapapun. Telfonmu tidak aktif, social networkmu kau nonaktifkan.

Berbulan-bulan kau seperti ini, aku tidak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang keluar tiap hari. Rasa ini begitu menyakitkan, lebih sakit daripada terjatuh dari lantai tertinggi gedung-gedung dikota metropolitan itu. Begitu cepatnya kau berubah, apa aku saja yang tidak terlalu peka akan perubahanmu secara perlahan-lahan?
malam itu, telfonku berdering. Entah ada angin apa kau tiba-tiba menelfon. Gemetar tangan ini menyambut telfonmu. Perasaan rindu, marah, muak, jengkel, kesal, sedih, senang semua jadi satu. Mendengar suara mu aku tersungkur. Tak mampu berkata sepatah kata pun.

“hallo......, aku tau aku jahat sekali dimatamu, tapi aku harus pergi dari mu dan semua kenangan tentang kita”
“lalu untuk apa kau kembali menelfonku? Mengapa kau tak mau jujur padaku? Mengapa baru sekarang kau datang dan memberi alasan? Sebenbarnya apa alasanmu? Apa yang membuatmu berubah seperti ini? Bagaimana dengan semua janji-janjimu? Kau bukan lagi orang yang kukenal sebelumnya. Kau terlalu jahat.”
“aku tau aku salah, tapi aku lakukan ini bukan tanpa alasan, kalau aku masih bertahan denganmu menuruti semua janji-janji kita, kau yang akan terluka sayang”
“jangan panggil aku sayang lagi”
“maaf”
Hening, hanya isak tangisku yang berbicara
“jangan menangis, belajarlah untuk hidup tanpaku”
“kenapa baru sekarang kau berkata seperti itu? Mengapa tidak kau katakan ini ketika kau ada dikota itu? Mengapa kau masih tetap memberiku harapan dengan menyuruhku menunggumu?”
“itulah salahku sayang”
“apa alasanmu untuk semua ini?”
“aku..aku..aku sudah tidak pantas lagi untukmu. Bagaimanapun aku tidak akan menikahimu, aku tidak mau menyakitimu, aku tidak mau menularkan penyakit ini padamu dan pada anak-anak kita. Maafkan aku, aku bukan laki-laki baik lagi untukmu, kota itu telah merubah seluruh hidupku. Aku harus meninggalkanmu, aku harus meninggalkanmu sayang..”

***

Beginilah akhir yang haus aku terima. Mau tidak mau, aku harus terima. Mau tidak mau, aku harus melepaskan dia, dia orang yang aku cintai. Aku harus melanjutkan hidupku dengan berjuta rasa sedih yang akupun tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.

Aku tahu ini bukan akhir,
Tuhan selalu menjanjikan kebahagiaan di akhir.