Kau dan kecewaku
Sayang? Salahku apa? Semakin hari kau semakin menjauh.
Bicarakan apa yang saat ini kau rasakan? Adakah aku membuat sesak didadamu?
Adakah aku mengecewakanmu? Adakah aku menyakiti hatimu? Semakin kau diam
seperti ini semakin aku tak tentu arah.
Sayang? Bicaralah.. sepatah kata saja..aku rindu. Rindu
senyummu, ketawamu, ejekanmu, aku rindu pelukanmu. Sayang.. tegakah kau
tinggalkan aku setelah kecupanmu yang pertama ini. Kau buatku melayang tinggi,
sekarang kau campakkan aku.. aku tak terima ini.. sayang, tolong jangan katakan
ini sebagai kecupan pertama dan terakhirmu.
***
Menunggumu walaupun menjemukan adalah hal yang paling
kucintai. Di pohon tua yang rindang ini, kita berjanji untuk memadu rasa. Sudah
sekian lama kita tidak berjumpa, setelah kau putuskan untuk mengadu nasib
‘sementara’ dikota besar itu. Tak terbayangkan rasanya waktu itu ketika pertama
kali kau putuskan untuk meninggalkanku, sungguh seperti duniaku hampir roboh.
“aku akan selalu mencintaimu dan setelah aku pulang kita akan menikah” itu
katamu. Itulah obat yang aku gunakan ketika aku sakit. Itu juga obat yang aku
konsumsi ketika aku sudah mulai menyerah menjalani kehidupan tanpa mu. Aku
percaya kamu.
Mobil merah tua mulai menikung menuju ke arahku, aku bisa
melihatnya diatas perbukitan ini siapapun yang datang menuju kearahku. Tanpa
kusadari darah ku berdesir kencang, tersungkur aku diatas kursi kenangan
dibawah pohon ini. “kau datang juga”, lirihku. Aku tak bisa bangkit, kau begitu
mempesona begitu berjalan kearahku, tersenyum, dan langsung meraih tanganku tanpa
sepatah katapun. “aku rindu”, bisikmu. “aku juga sayang, sangat..sangat..” dan
kita tersenyum.
Dua tahun
berpisah, dan ini lah rasanya ketika bertemu kembali, jiwa ini benar-benar
terasa penuh oleh kamu. Wajahmu tanpak memerah bahagia, senyummu mengembang,
tapi itu terlihat bukan seperti senyummu dahulu. Tanganmu dingin dan kau memang
semakin putih. Ahh..mungkin karena terlalu lama dimobil yang ber-AC dan karena
tinggal dikota jadi kau bisa mengurus diri lebih intens lagi. Kau terlihat keren
dengan kemeja yang kau biarkan terbuka dan memperlihatkan kaos hitam
didalamnya, aku pangling dan tak sempat berfikir bahwa itu bukan kau yang dulu.
Teralu bahagiakah ini? Hingga aku lupa mencatat hal-hal sepele yang sedikit
berubah darimu.
Kita
memancing bersama lagi. Kau sungguh-sungguh jahil. Masih tega meninggalkan aku
sendiri dan sengaja membiarkan aku mencarimu berkeliling-keliling. Dan ternyata
kau hanya bersembunyi di mobil sambil
melihat aku yang kebingungan dan hampir menangis. Setelah aku diam, kau
mengejutkanku dengan menyuruh seorang anak kecil menutup mataku dari belakang.
Bahagianya, aku mengira itu kamu. Tak
tega melihatku jengkel barulah kau tertawa dan menyerahkan setangkai mawar
merah. Entah dari mana kau dapatkan itu. Kau memelukku. Aku terkejut, tidak
biasanya kau seperti ini begitu gampangnya memelukku. ” Ahh..mungkin karena
terlalu bersemangat”, pikirku.
“sayang..
apakah kau masih mencintaiku?” tiba-tiba kau bertanya lirih setelah puas mengerjaiku.
“aku rasa kau tak perlu bertanya lagi, kau sudah tau kan apa jawabanku. Aku
sangat, sangat mencintaimu, aku tak bisa hidup tanpamu, aku juga tidak mau
hidup sendiri tanpamu”. Mendengarku berucap kau mendekapku erat sekali, tidak
pernah aku merasa dekapan yang begini. Bibir kita menyatu, dan kau.. menangis.
Sontak aku terkejut, ini pertama kali nya kau peluk dan kau cium aku, tapi
kenapa kau menangis? Apakah kau terlalu bahagia? Apakah kau malah menyesal
menciumku? Apakah ini ciuman pertama dan terakhirmu? Kau mau kemana? Tapi
pertanyaan itu melayang begitu saja, aku tak sanggup bertanya karena terlalu
terhanyut oleh rasa bahagia yang begitu berlebihan.
Rasa bahagia
karena kau ada disampingku lagi tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Rasanya
ada satu ruang kosong dalam diriku telah terisi. Sebulan, dua bualan, tiga
bulan, dan sekarang sudah lima bulan kau disini. Tapi sepertinya tak kunjung
kudengar kau berkata aku ingin melamarmu seperti janjimu sebelum kau pergi.
Apakah aku harus bertanya? Ya aku harus bertanya. Setiap kita bertemu aku terus
berharap kau berkata akan melamarku. Aku sudah tidak tahan lagi menunggu, aku
tidak mau kehilangan kesempatan.
Tapi,,
#
“Randa
sayang, ayo ketempat tante ku, aku mau mengenalkan kamu ke tante. Kamu mau
kan?”
“maaf
sayang, aku lagi sibuk, bisa kah lain kali saja kita kesana?”
“baiklah”
“sayang, aku
lapar”
“makanlah
sayang”
“tapi aku
mau makan kalau ditemani kamu”
“aku tidak
bisa sayang, ada sesuatu yang harus aku lakukan”
“Sayang, aku
pengen ketemu”
“sabar ya
sayang, aku juga ingin ketemu kamu”
“tapi kenapa
akhir-akhir ini kamu sering menolak ketika ajau ajak kemana-mana?”
“aku sudah
bilang, kalau aku sibuk sayang, ada hal lebih penting yang harus aku lakukan,
aku tidak bisa terus-terusan bersama kamu”
“sampai
kapan?”
“sampai tiba
waktunya”
“sayang aku
kangen”
“aku lagi
sibuk”
“apa?
Sedikitpun tak ada waktu untukku lagi?”
Tuuuuuutt...tuuuuut..
(telfon kau putuskan)
#
Perlakuanmu
sekarang berubah, kau enggan balas sms ku, kau seperti tidak ingin berbicara
padaku. Kebahagiaan ini begitu cepat pudar. Ada apa? Apa salahku? Apakah kau
sudah tidak mencintaiku lagi? Kalaupun kau muak atau benci padaku, kenapa baru
sekarang seperti ini? Kenapa tidak dari dulu saja sewaktu kau jauh dariku?
Bicaralah sayang. Mana janjimu dulu yang ingin melamarku? Mana janjimu dulu
yang ingin hidup bersamaku? Kau jahat Randa, kejam.
Bicaralah
padaku, temui aku.
Aku sudah
tidak tahan lagi, kau selalu memberi alasan. Semakin hari kau semakin menjauh.
Kau malah pindah dari rumah, tanpa kabar ke siapapun. Telfonmu tidak aktif,
social networkmu kau nonaktifkan.
Berbulan-bulan
kau seperti ini, aku tidak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang keluar
tiap hari. Rasa ini begitu menyakitkan, lebih sakit daripada terjatuh dari
lantai tertinggi gedung-gedung dikota metropolitan itu. Begitu cepatnya kau
berubah, apa aku saja yang tidak terlalu peka akan perubahanmu secara
perlahan-lahan?
malam itu,
telfonku berdering. Entah ada angin apa kau tiba-tiba menelfon. Gemetar tangan
ini menyambut telfonmu. Perasaan rindu, marah, muak, jengkel, kesal, sedih, senang
semua jadi satu. Mendengar suara mu aku tersungkur. Tak mampu berkata sepatah
kata pun.
“hallo......,
aku tau aku jahat sekali dimatamu, tapi aku harus pergi dari mu dan semua
kenangan tentang kita”
“lalu untuk
apa kau kembali menelfonku? Mengapa kau tak mau jujur padaku? Mengapa baru
sekarang kau datang dan memberi alasan? Sebenbarnya apa alasanmu? Apa yang
membuatmu berubah seperti ini? Bagaimana dengan semua janji-janjimu? Kau bukan
lagi orang yang kukenal sebelumnya. Kau terlalu jahat.”
“aku tau aku
salah, tapi aku lakukan ini bukan tanpa alasan, kalau aku masih bertahan
denganmu menuruti semua janji-janji kita, kau yang akan terluka sayang”
“jangan panggil
aku sayang lagi”
“maaf”
Hening,
hanya isak tangisku yang berbicara
“jangan menangis,
belajarlah untuk hidup tanpaku”
“kenapa baru
sekarang kau berkata seperti itu? Mengapa tidak kau katakan ini ketika kau ada
dikota itu? Mengapa kau masih tetap memberiku harapan dengan menyuruhku
menunggumu?”
“itulah
salahku sayang”
“apa
alasanmu untuk semua ini?”
“aku..aku..aku
sudah tidak pantas lagi untukmu. Bagaimanapun aku tidak akan menikahimu, aku
tidak mau menyakitimu, aku tidak mau menularkan penyakit ini padamu dan pada
anak-anak kita. Maafkan aku, aku bukan laki-laki baik lagi untukmu, kota itu
telah merubah seluruh hidupku. Aku harus meninggalkanmu, aku harus
meninggalkanmu sayang..”
***
Beginilah akhir
yang haus aku terima. Mau tidak mau, aku harus terima. Mau tidak mau, aku harus
melepaskan dia, dia orang yang aku cintai. Aku harus melanjutkan hidupku dengan
berjuta rasa sedih yang akupun tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.
Aku tahu ini
bukan akhir,
Tuhan selalu
menjanjikan kebahagiaan di akhir.